Di Bangkalan, Air Seharga Emas

Di musim kemarau yang cukup panjang tahun ini, sejumlah kecamatan di Kabupaten Bangkalan mengalami kekeringan, seperti Kecamatan Konang, Kecamatan Kokop, Kecamatan Blega, Kecamatan Sepulu, Kecamatan Modung, dan masih banyak kecamatan lainnya yang juga sama-sama kekurangan air.

Bagi sebagian orang, air hanya sebatas kebutuhan biasa yang tak usah dipermasalahkan. Namun, bagi warga kecamatan yang telah saya sebutkan itu. Air menjadi yang sangat penting dalam kebutuhan sehari-hari.

Bahkan untuk bisa mendapatkan air, mereka harus mengantri berjam-jam pada malam hari di sumur yang airnya keluar sedikit dan lambat.

Itupun setiap warga dibatasi untuk membawa air. Hanya bisa membawa pulang satu jeregan berukuran 5 sampai 10 kilo saja.

Air sedikit itu hanya untuk dibuat wudhu’ dan membersihkan muka saja. Selebihnya disimpan untuk ke esokan harinya. Saya masih termasuk orang yang beruntung, air di rumah saya masih lebih dari cukup, kapan pun masih bisa mandi. Saya patut bersyukur.

Miskipun ada bantuan air dari pemerintah daerah, tapi sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat. Bantuan itu lagi-lagi hanya untuk kebutuhan membersihkan muka saja. Tidak cukup untuk dibuat mandi. Ntah lah, berapa kali mereka mandi dalam seminggu.

Kesulitan air sudah parah, bagi mereka air sudah seperti emas, bagaimana tidak?, masyararakat menjual emas-emasnya untuk membeli air. Satu tangki air seharga Rp 450 ribu, begitu mahalnya air itu. Beli air satu tangki hampir seperti beli emas satu gram yang harganya Rp 550 ribu

Kekeringan ini sudah seperti kerapan sapi yang digelar tingkat keresidenan, yang muncul setiap tahun secara rutin. Hingga saat ini, solusi itu belum juga muncul.

Masalah kekeringan belum juga bisa teratasi, tentu perlu terobosan “gila” dari orang-orang yang punya kepedulian, terutama dari pihak Pemkab Bangkalan. (Sairil Munir)

Banyuanyar Dulu dan Sekarang

Sudah ada banyak perbedaan Pondok Pesantren Banyuanyar : pembangunan mulai banyak, Masjid sudah lebih besar, sekolah lebih besar dan lebih banyak, asrama sudah pakai gedung, dan tempat jualan sudah rapi.

Begitulah kira-kira yang bisa saya lihat di pondok yang saat ini santrinya kurang lebih mencapai 10 ribu, yang lokasi ada di Desa Poto’an Daya, Pamekasan itu.

Ketika Melihat gedung asrama yang sudah rata rata 3 lantai, Saya merasa bangga dan senang karena sudah moderen dan semakin berkembang.

Beda dengan masa tahun 2000-an yang masih menggunakan kayu, bambu dan pohon pinang. Yang ketika masak nasi harus antre agar dapat air, yang biasa minum airnya berwarna kuning di selatan masjid, yang kalau mandi sering di “DAM”-an yang sempat viral karena ada Lafadz Allah itu.

Dulu, pada zaman murid Madrasah Diniyah masih pakai sarung, Asrama yang pakai gedung hanya Blok L dan Blok K ditambah dijadikan tempat markas Bahasa Arab di atasnya. Itu gedung paling keren dan paling tinggi. Dan saya ada di Blok L tepatnya L/10.

Pada era-nya “SUTER”, masjid masih belum cukup ditempati semua santri untuk mengaji dan salat berjamaah. Santri masih salat di halaman masjid dengan beralaskan sajadah. Salat berjamah belum diwajibkan pada waktu itu. Masih banyak santri yang berjamaah di replika burung garuda sebelah timur pondok.

Yang tetap “bertahan” dengan gempuran masa dan zaman, sejak zama milinium hingga milinial hanya : congkop, kamar mandi pengurus/ustad dan kediaman pengasuh yang di tempati K.H. Mohammad Syamsul Arifin. Selain itu sudah kena rehap alias dibangun.

Sekarang, santri sudah tidak usah mandi ke sungai, ke Laccaran, dan Lor Telor. Setiap gedung asrama sudah disiapkan kamar mandi. Santri tak usah lagi antre buat menanak nasi untuk ngambil air di masjid, santri tak ada yang mInum air kuning. Tak ada lagi santri yang ngirim surat ke pondok putri melalui Suter.

Semua sudah lengkap, semua sudah disiapkan dengan sanksinya jika ada santri yang melanggar aturan pondok. Bahkan, bagi santri yang tidak berjamaah juga sudah ada sanksinya, untung saya tidak sekarang ke pondok. Mungkin akan sering di sangsi karenn sering salat berjamaah magrib di replka burung garuda yang berada di timur pondok yang jauhnya 500 meter.

Pondok Pesantren Banyuanyar sudah mulai berkembang, bahkan sudah moderen. Tapi tetap budaya santri tiidak dihilangkan, bahkan Tradisi lomba pidato, salawat, dan hafalan kitab Al-Fiya serta hafalan Al-Quran menjadi kebiasaannya.

Pondok Pesantren selalu menjadi ujung tombak bagi generasi Bangsa ini, dari dulu, kini hingga masa depan. Semoga Pengasuh Pondok pesantren Banyuanyar diberi kesehatan dan Banyuanyar semakin maju. (Sairil Munir)

Banyuanyar dulu dan sekarang

Sudah ada banyak perbedaan Pondok Pesantren Banyuanyar : pembangunan mulai banyak, Masjid sudah lebih besar, sekolah lebih besar dan lebih banyak, asrama sudah pakai gedung, dan tempat jualan sudah rapi.

Begitulah kira-kira yang bisa saya lihat di pondok yang saat ini santrinya kurang lebih mencapai 10 ribu, yang lokasi ada di Desa Poto’an Daya, Pamekasan itu. Ketika Melihat gedung asrama yang sudah rata rata 3 lantai, Saya merasa bangga dan senang karena sudah moderen dan semakin berkembang.

Beda dengan masa tahun 2000-an yang masih menggunakan kayu, bambu dan pohon pinang. Yang ketika masak nasi harus antre agar dapat air, yang biasa minum airnya berwarna kuning di selatan masjid, yang kalau mandi sering di “DAM”-an yang sempat viral karena ada Lafadz Allah itu.

Dulu, pada zaman murid Madrasah Diniyah masih pakai sarung, Asrama yang pakai gedung hanya Blok L dan Blok K ditambah dijadikan tempat markas Bahasa Arab di atasnya. Itu gedung paling keren dan paling tinggi. Dan saya ada di Blok L tepatnya L/10.

Pada era-nya “SUTER”, masjid masih belum cukup ditempati semua santri untuk mengaji dan salat berjamaah. Santri masih salat di halaman masjid dengan beralaskan sajadah. Salat berjamah belum diwajibkan pada waktu itu. Masih banyak santri yang berjamaah di replika burung garuda sebelah timur pondok.

Yang tetap “bertahan” dengan gempuran masa dan zaman, sejak zama milinium hingga milinial hanya : congkop, kamar mandi pengurus/ustad dan kediaman pengasuh yang di tempati K.H. Mohammad Syamsul Arifin. Selain itu sudah kena rehap alias dibangun.

Sekarang, santri sudah tidak usah mandi ke sungai, ke Laccaran, dan Lor Telor. Setiap gedung asrama sudah disiapkan kamar mandi. Santri tak usah lagi antre buat menanak nasi untuk ngambil air di masjid, santri tak ada yang mInum air kuning. Tak ada lagi santri yang ngirim surat ke pondok putri melalui Suter.

Semua sudah lengkap, semua sudah disiapkan dengan sanksinya jika ada santri yang melanggar aturan pondok. Bahkan, bagi santri yang tidak berjamaah juga sudah ada sanksinya, untung saya tidak sekarang ke pondok.

Mungkin jika mondok sekarang saya akan sering di sangsi karena sering salat maghrib berjamaah di replika burung garuda yang berada di timur pondok yang jauhnya 500 meter.

Pondok Pesantren Banyuanyar sudah mulai berkembang, bahkan sudah moderen. Tapi, tetap budaya santri tiidak dihilangkan, bahkan Tradisi lomba pidato, salawat, dan hafalan kitab Al-Fiya serta hafalan Al-Quran menjadi kebiasaannya.

Pondok Pesantren selalu menjadi ujung tombak bagi generasi Bangsa ini, dari dulu, kini hingga masa depan. Semoga Pengasuh Pondok pesantren Banyuanyar diberi kesehatan dan Banyuanyar semakin maju. (Sairil Munir)

Blog at WordPress.com.

Up ↑