AREK / CELURIT

CELURIT DAN FILOSOFINYA

Bagi masyarakat Madura, Celurit tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi mereka hingga saat ini. Senjata tradisional ini memiliki bilahnya berbentuk melengkung bentuk bilah inilah yang menjadi ciri khasnya. Celurit menjadi senjata khas suku Madura yang biasa digunakan sebagai senjata carok.

Senjata ini melegenda sebagai senjata yang biasa digunakan oleh tokoh bernama Sakera. Masyarakat Madura biasanya memasukkan khodam, sejenis makhluk gaib yang menempati suatu benda, ke dalam celurit dengan cara merapalkan doa-doa sebelum carok. Walaupun demikian, pada dasarnya fungsi utama senjata ini merupakan salahsatu dari alat pertanian.

Sejarah dan Mitos
Celurit diyakini berasal dari legenda Sakera, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan belanda pada abad 18 M. Ia dikenal tak pernah meninggalkan celurit dan selalu membawa/mengenakannya dalam aktivitas sehari-hari, dimana saat itu digunakan sebagai alat pertanian/perkebunan. Ia berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan ajaran agama Islam.
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Setelah ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudia dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.

Tindakan penjajah tersebut memimbulkan kemarahan orang-orang Madura sehingga timbul keberanian melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan senjata andalan meraka adalah celurit. Oleh karena itu, celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri serta strata sosial.

Jenis dan Ukuran Celurit
Berdasarkan bentuk bilahnya, celurit dapat dibedakan menjadi :
– Clurit Kembang Turi
– Clurit Wulu Pitik/Bulu Ayam
Sedangkan ukuran clurit dikenal dengan ukuran 5 (paling kecil) sampai ukuran 1 (paling besar)

Struktur Celurit
Umumnya clurit memiliki hulu (pegangan/gagang) terbuat dari kayu, adapun kayu yang digunakan cukup beraneka ragam, di antaranya kayu kembang, kayu stingi, kayu jambu klutuk, kayu temoho, dan kayu lainnya. Pada ujung hulu terdapat tali sepanjang 10-15 cm yang berguna untuk mennggantung/mengikat clurit. Pada bagian ujung hulu biasanya terdapat ulir/cerukan/cungkilan sedalam 1-2 cm.

Sarung clurit terbuat dari kulit, biasanya berasal dari kulit kebo yg tebal atau kulit sapi serta kulit lainya. Sarung Kulit dibuat sesuai dengan bentuk bilah yang melengkung, dan memiliki ikatan pada ujung sarung dekat dengan gagang sebagai pengaman. Sarung clurit hanya dijahit 3/4 dari ujung clurit, agar clurit dapat dengan mudah dan cepat di tarik/dicabut dari sarungnya. Umumnya sarung dihiasi dengan ukiran/ornamen sederhana.

Bilah Clurit menggunakan berbagai jenis besi, untuk yang kualitas bagus biasanya digunakan besi stainless, besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil. Sedangkan untuk kualitas rendah menggunakan baja atau besi biasa. Bilah Clurit memiliki ikatan yang melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang. Sebagaian dari clurit juga dibuat ulir setengah lingkaran mengikuti bentuk bilahnya. Terkadang pada bilahnya terdapat ornamen lingkaran sederhana sepanjang bilah clurit.

Proses Pembuatan
Sebelum mengerjakan sebilah celurit, Pandai besi biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, dilakukan ritual kecil di bengkel pandai besi. Ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di mushala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. Diyakini Kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit-sakitan. Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang.

Hal pertama yang selalu dilakukan dalam pembuatan, adalah memilih besi yang diinginkan. Untuk clurit berkualitas terbaik digunakan besi rel atau besi mobil/jeep. Batangan besi pilihan itu tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.

Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan sesuai dengan jenis celurit yang diinginkan. Penempaan dilakukan dengan ketelitian. Setelah mencapai kelengkungan yang diinginkan, clurit digerinda dan dihaluskan bilahnya. Setelah dimasukkan/ditancapkan ke gagang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Dan diteruskan dengan memberikan ikatan tali pada gagang tersebut. Terakhir bilah yang sudah jadi dibuatkan sarungnya dengan menggunakan kulit kebo/sapi dan telah diukir/tatah, dimana ukurana sarung disesuaikan dengan bentuk bilah tersebut. Untuk membuat clurit yang berkualitas terbaik membutuhkan waktu 2 sampai 4 minggu.

Celurit dan Pencak Silat
Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Dimana perguruan silat menggajarkan penggunaan celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pesilat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.

Sejak dulu sampai sekarang nama celurit, pasti identik dengan Madura, entah Sumenep, Pemekasan, Sampang, dan Bangkalan, bahkan orang Madura dianggap bersinonim dengan senjata tajam. Tetapi watak dan kepribadiannya patut di puji dan dikagunmi dengan setulus hati, kata Emha Ainun Nadjib. Padahal kalau kita lebih kritis melihat Madura secara holistik-uinversal semua orang akan terkagum-kagum dengan etika (tatakrama), agama, budaya, seni dan kerukunan antar masyarakat, ini bukannya saya membela orang Madura. Tidak, tapi setidaknya ini menjadi pemicu untuk menipiskan realitas yang dicitrakan terhadap orang Madura sejak dulu menyandang stereotipe negatif. Artinya sampai saat ini belum ada seseorang yang mampu menyingkap sesuatu yang ada di balik Madura itu sendiri, terutama dari sisi simbol celurit.
Simbol celurit yang berbentuk melengkung seperti tanda tanya. Inilah sebenarnya yang menjadikan Madura dan makna Madura menjadi jelek di mata masyarakat luar Madura. Padahal kalau kita melihat simbol dari kemaduraan itu sendiri, kita akan lebih mengerti dan tahu apa maksud, tujuan dan, makna dari simbol celurit itu, yang selama ini menjadi identitas masyarakat Madura.
Simbol dalam hal ini adalah memberi kesan terhadap orang lain atau sesuatu yang memiliki makna. Kesan dan pengertian inilah yang di salah pahami. Kesannya apa? Ada apa dengan Celurit? Bagaimana celurit? Mengapa harus celurit? Pertanyaan mendasar ini yang kurang memberi kesadaran terhadap kita. Kalau kita lebih kritis dan berhati-hati, di sana kita akan menemukan banyak filosofi yang luar biasa bagi perkembangan masyarakat bahkan negara.
Celurit yang berbentuk tanda tanya sebuah kehati-hatian masyarakat Madura untuk bertindak kasar. Masyarakat Madura akan selalu ragu (skeptis) terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya maupun keluarnya. Carok misalnya, itu akan terjadi ketika ada kesepakatan bersama, artinya mereka masih banyak bertanya-tanya untuk berbuat carok.
Bertanya adalah celurit itu sendiri. Celurit adalah filsafat itu sendiri. Dari kebiasaan bertanyalah kemudian muncul filsafat menjadi pisau analisis untuk lebih jauh melihat celurit sebagai simbol masyarakat Madura. Yang akhirnya penulis berharap ini menjadi pintu awal sejarah pembentukan filsafat Madura. Dari simbol celurit itulah saya menemukan tiga langkah untuk lebih lanjut menuturkan kemaduraan, pertama adalah sadar, kedua adalah menyadari, dan yang ke tiga adalah kesadaran. Memang ketiganya dalam hal kata sama, tapi saya akan mencoba melihat dari kacamata filsafat.
Sadar bagi saya adalah pemikiran pasif yang melekat di setiap orang, tanpa terbesit untuk melakukan atau bertindak sesuatu, misalnya dalam satu forum diskusi, anggota diskusi semua sadar bahwa kalau setiap diskusi mereka butuh snak, rokok, dan minuman, tapi tidak ada seoarang di antara mereka untuk membelinya, realitas itu hanya terjadi di ranah sadar. Artinya masih ada dalam benak atau akal mereka, katakanlah sebuah pemikiran yang masih di internalisasikan.
Menyadari bagi saya adalah pemikiran aktif yang selalu berbuat dan pasti dijalani atau di kerjakan dan jarang orang untuk memiliki pemikiran seperti ini, misalnya dalam diskusi tadi mereka sadar bahwa mereka semua butuh snak, rokok, minuman, bahkan makanan, di ranah menyadari itu akan terjadi, artinya snak, minuman, rokok, bahkan makanan sudah ada di antara mereka yang berangkat untuk membelinya. Seseorang di ranah ini lebih peka terhadap keadaan sekitar.
Sedangkan kesadaran bagi saya adalah sudah mentradisi dalam setiap ada diskusi, artinya setiap kali ada diskusi pasti ada di antara mereka yang memiliki kesadaran untuk membelikan atau melaksanakan sadar-nya itu. Kalau setiap kali ada diskusi dan pasti ada mereka yang menyadari untuk membelikan maka kesadaran sudah mentradisi di antara mereka.
Contoh lain filosofinya orang Madura “Mon othebi’ oreng sake’ je’ nobi’ oreng laen” (kalau di cubit orang sakit, jangan mencubit orang lain), artinya kalau dirinya sudah merasakan sakit karena di cubit orang, orang lain juga merasakan sakit. Ketika kita sadar bahwa di cubit sakit, dan kita tidak mencubit, maka “tidak mencubit” itulah kita menyadari, dan ketika kebiasaan itu selalu berulang-ulang terjadi maka kesadaran sudan mentradisi di tiap kita dan masyarakat.
Bagaimana dengan negara? Misalnya presiden berkata “2009 sekolah gratis”, dalam contoh ini presiden hanya sadar bahwa masyarakat bawah tidak mampu membiayai sekolah, artinya kata-kata presiden itu masih di ranah wacana belum pada tataran praksis, tapi kalau “2009 sekolah gratis” benar-benar adanya dan itu pasti terjadi, presiden sudah menyadari, artinya menyadari di sini sesuatu sudah terlihat jelas bahwa “2009 sekolah gratis”. Kalau itu selalu terjadi di Indonesia setiap tahun, kesadaran sudah menjadi tradisi di Indonesia. Agar tidak hanya janji kosong belaka.
Jadi sadar menjadi pemikiran pasif atau kata Plato masih di tanah ide. Menyadari menjadi pemikiran aktif (transformasi, aplikasi), sedangkan kesadaran adalah tradisi pemikiran dari keduanya, atau dengan kata lain intelektual simbolis-realistis-transformatif.
Dengan demikian, sadar kalau dalam filsafat adalah filsafat epistemologi yang membahas masalah tata cara, sumber, dan kevalidan. Sedangkan menyadari kita sudah memiliki teori sendiri dan teori-teori itu ditulis dalam bentuk buku atau di transformasikan atau di aplikasikan terhadap masyarakat. Sedangkan kesadaran kita akan selalu menemukan teori-teori baru dari membaca, skeptis, dan berpikir kritis terhadap sadar dan menyadari akan keadaan diri dan realitas.

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑